Fujiko Fujio


Aku ingin begini, aku ingin begitu, aku ingin ini itu… banyak sekali. Semua semua semua, dapat dikabulkan… dapat dikabulkan dengan kantong ajaib. Aku ingin terbang bebas, ke angkasa… (Hai, baling-baling bambu!) la la la… aku sayang sekali, Doraemon ….

Rasanya tak ada yang tak pernah mendengar lagu tema film kartun Doraemon itu dari TV. Kucing biru berkepala besar dengan kantong ajaibnya itu sudah dikenal beberapa generasi anak-anak di Indonesia. Mereka menunggu-nunggu kesulitan apa lagi yang akan menimpa Nobita dan benda ajaib apalagi yang akan dikeluarkan Doraemon setiap episodenya. Anak-anak pun terhanyut dalam angan-angan; alangkah senangnya punya teman yang bisa mengeluarkan alat-alat ajaib untuk menyelesaikan segala masalah.

Memang, gagasan mesin pencacah segala masalah inilah yang mengawali penciptaan Doraemon tahun 1969-1970. Ketika sedang berandai-andai mempunyai mesin yang bisa menghasilkan konsep-konsep manga baru, Hiroshi Fujimoto tersandung mainan putri-nya dan mendengar kucing berkelahi di luar rumah. Di antara angan-angannya tentang mesin itu, bentuk mainan dan eongan kucing, tersebitlah gagasan robot kucing dan memiliki kantong berisi alat-alat untuk menyelesaikan masalah.

Bersama rekan satu timnya, Motoo Abiko, Fujimoto lalu mewujudkan Doraemon. Fujiko Fujio, nama pena dua seniman manga ini, langsung melejit menyertai ketenaran Doraemon di seluruh jepang dan manca negara.  Setelah komiknya, animasi dan berbagai produk samping pun segera dibuat.

Sebetulnya Doraemon bukan karya Fujiko Fujio yang pertama. Kedua seniman ini telah menciptakan sejumlah komik dan menjadi populer di kalangan anak-anak.

Hiroshi Fujimoto lahir pada 12 Desember 1933 di Takaoka, Toyama. Dan Motoo Abiko lahir pada 10 Maret 1934 di Hyomi, di wilayah yang sama. Mereka bertemu untuk pertama kalinya ketika duduk di kelas lima SD. Pada saat itu mereka mulai berkarya bersama dan terus melakukannya di SMP. Mereka menyumbangkan artikel di bawah bendera Fujiko Fujio, dan pada 1952, mereka membuat debut dengan komik Tenshi-no-Tamachan. Tahun 1954, mereka merambah Tokyo, dan dua tahun kemudian, mengelola The Shin Manga-to dengan beberapa kartunis, termasuk Fujio Akatsuka dan Syotaro Ishimori. Kemudian mereka mulai memproduksi animasi, dan mendirikan The-Studio-Zero tahun 1963.

Tahun berikutnya, Fujiko Fujio sukses dengan komik serial hantu kecil, Obake-no Otaro, yang diterbitkan di Shonen Sunday. Serial itu kemudian dianimasi, dan menjadi simbol komik anak-anak. 

Setelah itu, mereka dengan konsisten membuat karya-karya fantastis yang mengetengahkan kehidupan anak-anak sehari-hari, dan menjadi terkenal. Mereka memenangkan beberapa penghargaan untuk komik-komik mereka. Sebagian dari karya utama mereka adalah, Ninjya Hattori-kun, Kaibutsu-kun, Paa-man, Umeboshi-denka, Mataro-ga-kuru, dan Professional Golfer Saru.Namun, yang membuat nama mereka mendunia adalah Doraemon. 

Kisah Doraemon yang pertama menjelaskan tema keseluruhan serinya. Nobi Nobita (Nobita nama pertamanya), adalah anak laki-laki berkacamata, kelas 4 yang tinggal di Tokyo. Suatu hari, sebuah makhluk aneh keluar dari laci mejanya. Bentuknya seperti kucing tetapi tanpa telinga, berwarna biru dan bertumbuh bulat.  Makhluk yang ternyata robot ini tidak memperkenalkan diri, alih-alih langsung memakan kudapan sore Nobita dan kembali ke dalam laci. Masalah menjadi jelas pada akhirnya. Cicit Nobita (atau keturunanya yang kesekian) hidup pada abad ke-22 hanya karena kesalahan Nobita, seluruh keluarga itu hidup dalam kemiskinan. Untuk memperbaiki nasib, keturunan Nobita mengirimkan robotnya, Doraemon (yang bukan robot berkualitas tinggi) kembali ke masa lalu dengan misi mencegah Nobita melakukan kesalahan. Tentu saja, ini tugas yang sulit, karena Nobita adalah anak yang paling lemah dan paling lamban di kelasnya.  Dan awalnya, Doraemon juga bukan robot paling cerdas. Untungnya, dia mempunyai kantong 4-dimensi di perutnya, yang berisi segala macam perlatan canggih dari abad ke-22. Dengan benda-benda ajaib inilah, Doraemon mencoba menyelamatkan Nobita dari kemiskinan dan kegagalan pada masa depan.

Sumber: Nilandari, A. (2005). Memahat Kata, Memugar Dunia: 101 Kisah menggugah Pikiran. Bandung: Penerbit MLC.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar